Monday, March 26, 2018

Cutrip : Catatan Trip Cuti 2018 II

D-Day : Child in Law Downloading alias Ngunduh Mantu!

Well ini lanjutan artikel sebelumnya [Cutrip : Catatan Trip Cuti 2018 I], pada hari kedua juga. Sorry gue perbarui kontennya lumayan lama, ada kesibukkan di kehidupan riil yang bikin sulit curi waktunya. Next. Setelah istirahat, satu per satu kita mandi. Gue mengalah sama yang mau Jumatan dulu, di samping gue juga masih males. Pada akhirnya badan menempel kasur, lumayan nyaman buat rebahin badan. Beberapa mengeluh karena sinyal yang sulit, karena posisi rumah dari jalan utama lumayan jauh, jadi ya sementara gue nikmati aja kehidupan desa.. duileh~~. Cukup istirahat, gue beberes sedikit, siapin baju buat acara Bang Dicky lalu mandi. Ternyata keluarga Bang Dicky sudah suguhin makanan, bahkan untuk kita sendiri disajiin porsi kyak buat keluarga. Gue nunggu yang lain selesai Jumatan supaya kita makan bareng.

Awalnya sih gue pesimis, maaf ya Bang Dicky hehe. Tumbuh di keluarga yang suka makanan pedas, gue gak cocok sama makanan ala Jawa. Tapi enggak, sumpah makanannya pedas. Sangat berlawanan dengan stereotype kuliner Jawa dan terima kasih banget Bang Dicky. Makanannya enak semua, sederhana -tapi enak. Selesai Jumatan dan makan, kita semua siap - siap ke acara Bang Dicky. Yup! Pake tradisi ala desa klo ada acara di kampung, pakai mobil bak, naik dan berangkat bareng.

Di Atas Mobil Bak ~ Lelaki di Antara Wanita
Di mobil sudah ada seserahan buat acara, kita naik sesudahnya sementara Dwi berpisah karena mungkin untuk menjaga kenyamanan dia juga sebagai satu - satunya cewe. Gue pikir sudah begitu aja, tapi di tengah jalan setiap tetangga mulai naik dan semakin penuh. Di jalan yang bukan aspal dan berbukit, gue harus berdiri berhadapan seserahan Bang Dicky sambil digandolin ibu - ibu tetangga. Sumpah pegel. Ditambah ibu - ibu juga kepo tanya - tanya tentang kita pakai Bahasa Jawa. Selesai lah, untung ada Bayu yang meladeni.

Begitu tiba kita disambut dengan dangdutan dari sound system dengan bass yang menggelegar. Dentuman bass nya langsung menggetarkan jiwa~~ tanpa koordinasi dan minimnya pemahaman tentang acara ini, lantas kita bengong. Akhirnya kita disuruh masuk, mungkin karena gak enak dilihat, prosesi masih berjalan sementara tamu di luar. Masuk dan kita berhadapan langsung dengan keluarga Mitha (istri Bang Dicky), kita menyalami satu per satu di barisan tersebut. Setelah itu kita ambil kursi paling depan, walau takut juga. Kita gak tau betul apa itu bebas untuk tamu atau reserved buat keluarga. Pokoknya duduk aja dulu biar gak kelihatan aneh cuma berdiri.

Sambil menunggu, kita disuguhi minuman dan beberapa snack. Karena baru makan, makanan cuma kita cicipi beberapa lalu diletakkan di meja. Begitulah terlihat tangan kita kosong oleh keluarga tuan rumah, maka ditawari lagi. Memang dasar watak orang Indonesia yang selalu segan / "gak enakkan" lantas kita terima lagi. Masih menunggu dengan kalimat pengantar Bahasa Jawa kuno atau klasik atau apalah itu sampai Adit pun yang orang Jawa gak paham. Perlahan kita tumbang. Nada Jawa, tembang sinden dan kalimat Jawa mengantar kita ke kondisi mengantuk sesudah semalam sebelumnya sulit tidur di kereta.

Bayu yang duduknya di belakang kita tertidur, sisanya mengantuk. Sungguh memalukan, akhirnya kita jadi buah bibir keluarga Mitha. Dwi yang sedikit mengerti Bahasa Jawa mendengar kita sedang diperbincangkan. Maaf ya Bang Dicky, kami cuma membawa aib. Akhirnya keluarga Bang Dicky datang, sip acara mulai. Rombongan datang membawa seserahan simbolik keperluan rumah tangga, gak lama ada sepupu Bang Dicky datang duduk di samping kita. Mengajak ngobrol sebagai tuan rumah di kampungnya. Orangnya ramah dan baik, doi polisi di Jakarta. Kita diajak cari - cari jodoh di kampungnya tapi sepanjang tadi yang gue lihat cuma anak kecil. Apa artinya ini? Artinya mungkin jodoh Ibam dan Adit masih jauh, sangking jauhnya mereka masih anak - anak. Sabar guys!

Sumringah Wajah Melepas Keperjakaan
Oia, rombongan datang bukan hanya bawa seserahan. Prosesi tersebut ada simbol tarik ulur antar keluarga, semacam adu - aduan dengan tari. Lumayan menghibur untuk membunuh kantuk. Skip skip.. akhirnya Bang Dicky datang, Man Of The Day. Bang Dicky secara agama dan hukum sudah sah menikah kemarin, tapi adat masih berjalan. Kata Ibam, dari kemarin Bang Dicky minta beliin CD (u know lah), sungguh pelepasan masa lajang yang luar biasa. Stok bisa sampai habis terpakai dalam kurang dari satu hari. Begitulah Bang Dicky berjalan di depan kita, berusaha menahan keseriusan dalam formalnya prosesi sakramen adat, namun hancur karena ledekan kita. "Segitunya apa sampe kolor abis!??", sindiran penuh iri dari jomblo.

Prosesi masih berlanjut, Bang Dicky sudah naik pelaminan bareng Mitha. Kita menunggu sesi untuk foto bersama dan menyelamati secara langsung. Sayang sesi tersebut berlangsung dengan cepat, karena acara formal masih berlanjut jadi kita gak sempat ambil foto pakai kamera pribadi tapi cuma pakai fotografer pernikahan. Lalu kita keluar dan mencoba merencanakan trip selanjutnya. Pacitan terkenal dengan pantainya yang bagus, kita berencana kesana. Lagi - lagi sayang, Kamis itu dianggap hari bagus oleh orang Jawa sehingga pada hari itu juga ada pernikahan lain di desa itu. Jadi keluarga dan tetangga Bang Dicky tidak sibuk dengan satu pernikahan saja.

Ramainya pernikahan yang dilangsungkan di hari itu menyebabkan sulitnya ketersediaan kendaraan yang bisa kita pinjam buat ke pantai. Ada pun yang menyewakan dengan harga yang kurang menarik. Dengan beberapa pertimbangan kita putuskan kembali ke Jogja, ada tawaran untuk mengantar kita dengan mobil pribadi yang disupiri saudara Bang Dicky. Setidaknya dengan harga yang cukup seimbang dibanding penawaran sebelumnya ke pantai.

Keputusan diambil begitu pula selesai acara Bang Dicky. Pulang lah kita duluan ke rumah Bang Dicky. Begitu sampai lalu istirahat sebentar dan kita ditawari makan oleh nenek Bang Dicky, padahal baru makan sebelumnya. Seperti biasa, karena segan kita tetap makan dengan porsi sedikit. Keluarga Bang Dicky begitu baik menyuguhi sampai kami segan menolak. Ternyata di sebelah rumah nenek Bang Dicky ada kandang ternak, dengan sedikit perdebatan dengan Adit tentang sapi atau banteng, akhirnya gue kalah. Gue gak tau tentang ternak sebelumnya dan atas semua informasi yang pernah gue dapat bahwa banteng selalu agresif. Tapi banteng itu begitu tenang seperti sapi dan siapa sih gue, cuma lihat hewan ternak setahun sekali pas lebaran haji. Nenek Bang Dicky mendesak kita agar masuk, menikmati suguhan makanan sebelumnya. Sedikit gelap karena sore sampai lampu dinyalakan.

Sebuah rumah joglo, luar biasa. Gue pernah lihat satu rumah joglo milik direksi gue waktu diundang makan bersama di rumahnya. Ada perbedaan tentu dari segi prestis, tapi yang ini otentik. Gue suka. Bagaimana seni dan adat selaras dan kuat dimakan zaman. Itu namanya komitmen pada kreatifitas dan warisan. Harganya mahal baik moral maupun nilai.

Keluarga Bang Dicky juga beberapa akhirnya menyusul pulang, kita izin untuk pamit. Keluarganya menyayangkan kunjungan kita yang sebentar, kami diminta untuk berkunjung lagi lain waktu dan kesempatan. Kami mengiyakan. Nenek Bang Dicky juga menyayangkan, tampak sedih di wajahnya. Dalam tua, kamu akan tahu arti keramaian keluarga. Ibu Bang Dicky akhirnya menghubungi Bang Dicky untuk menyalami kepulangan kami. Sekelompok teman dari jauh, demi hari penting. Lalu kita berbincang sedikit, sambil menunggu mobil yang kita sewa di waktu yang dijanjikan. Gue dan Adit berbicara yang tidak jelas seperti biasa, ditambah Ibam. Bayu dengan kamera handphone nya yang canggih melakukan photo shooting dengan model Hendra dan Dwi.

Sudah hampir menjelang malam, kita bersiap mandi lalu packing. Tidak lama Bang Dicky datang dari rumah Mitha. Akhirnya bisa berbincang lebih leluasa, sedikit mengobrol. Mengulang gaya bicara lama yang kita ulang selama 4 tahun berturut - turut walaupun dengan topik berbeda sampai mobil tiba. Keluarga berkumpul semua melepas kami, dengan sedikit wejangan agar berhati - hati dan salam untuk kembali. Kita pergi. Sore menjelang malam, di desa begitu gelap dan begitu pun sebenarnya gue berat dengan segala keramahan yang disuguhi keluarga Bang Dicky ditambah raut wajah sedih dari nenek Bang Dicky yang semakin menjadi. Malam kita lewati, ke Jogja kita kembali.

No comments:

Post a Comment