Friday, August 27, 2021

Kritis Diri

Menjadi kritis di era digital ini semakin kian mudah, informasi yang berlimpahan dari yang sampah sampai yang paling berharga. Semuanya terpampang dalam sajian - sajian yang memancing rasa keingintahuan kita, walaupun Indonesia salah satu negara yang minat bacanya rendah namun tidak menjadi halangan itu mereka "memakan" click-bait pembuat konten. Seperti kasus Ahok, beliau dipenjara karena menista agama namun si pembuat konten, Buni Yani, juga dipenjara karena UU ITE. 

Kita bertanya - tanya, dalam kasus itu saja si pembuat berita dan yang disangkutkan namanya dipidana juga. Lantas bagaimana seharusnya?

Indonesia menjadi korban penjajahan pihak asing sejak dulu, divide et impera menjadi senjata andalan untuk meredam perjuangan. Membenturkan antar tetangga atas tendensi pribadi yang menjadi masalah khalayak, itu mungkin sejarah namun kenyatannya masih sangat laris sekarang. Menurut riset yang dirilis Microsoft, netizen Indonesia paling tidak sopan se-Asia Tenggara. Sehingga tidak aneh bagi penjajah dulu untuk memainkan cibiran kita kepada saudara kita sendiri. Tidak ada bukti riil sebetulnya korelasi antara sejarah kelam dan riset tersebut, namun menurut gue era digital baru saja mengekspos kenyatannya.

Di era digital kita semua bermain peran menjadi sumber informasi, kemudahan akses membuat opini kita sanggup dikonsumsi banyak orang. Begitu banyak kritik yang disampaikan kepada berbagai aspek kehidupan, baik kepemimpinan, kondisi hidup dan banyak persoalan umum namun dengan kecatatan - kecatatan logika yang begitu kontras. Membuat gue kembali bertanya, apakah mereka sudah berpikir sebelum mempublikasikan hal tersebut?

Gue sendiri banyak menemukan hal ini berseliweran di dunia maya. Beberapa contoh di antaranya seorang yang anti hutang atas dalil agamanya menguraikan ruginya kredit kendaraan bermotor, membandingkan total kredit (DP + seluruh kredit) dengan nilai kendaraan tanpa menghitung inflasi dan fungsi ekonomisnya. Nominal uang yang dipinjamnya dipaksakan masih sama nilainya dengan saat selesai masa kreditnya. Sebagai contoh dengan nominal IDR 8.000 dulu kita sanggup membeli semangkuk bakso, tapi sekarang nilainya sudah berubah menjadi IDR 15.000. Nominalnya meningkat tapi nilainya sama yaitu semangkuk bakso. 

Belum dari kredit tersebut kita bisa menghasilkan suatu manfaat, menjadi tukang ojek misalnya yang pada akhirnya memberikan nilai tambah.

Dalam lain waktu gue juga menemukan kritik terhadap presiden yang mirip seperti R*cky Gerung, memaksakan standar menurut logika nya. Apabila tidak memenuhi hal tersebut maka disebut bodoh, mengecualikan banyak aspek lain di sekitarnya. Ini tidak berarti logika nya keliru namun sama halnya dengan persoalan kredit tadi, orang lain dipaksa memasuki formulasi, opini atau pendapatnya yang lalu jika tidak memenuhi kriteria yang dia inginkan lantas dikritisi sebagai suatu kekeliruan.

Kritik sangat mudah disampaikan, atas kompleksitas informasi yang tersedia di banyak pilihan media yang kita gunakan dan pintarnya teknologi dalam mengemlompokkan minat konsumen maka pola pikir kita semakin mengerucut dan sempit. Tak heran melihat orang - orang terlihat pintar dengan kebodohannya sendiri. Orang semakin informatif namun bodoh, kita mungkin berpikir informasi membuka pikiran namun tidak sekarang.

Kesadaran untuk kritis terhadap diri sendiri masih sangat minim, memvalidasi informasi yang diterima, memeriksa fakta dari sumber yang tidak kita sukai, mengadu opini fakta antar sumber, berempati dari pihak yang tidak kita perkenankan atau meragukan pengetahuan yang kita percayai benar. Semua diolah bersama hal - hal yang kita ketahui, percayai dan sukai menjadi satu pola pikir yang selanjutnya boleh saja untuk dipublikasikan. Baik dalam ide, pesan, saran ataupun kritik.

Kritis diri akan menjadi sangat berguna bagi kita sendiri, selain data yang kita miliki semakin kaya, informasi yang kita miliki juga semakin faktual. Setiap pesan yang dimiliki baik yang disimpan sendiri maupun yang disampaikan kepada publik menjadi semakin berguna dan baik.


No comments:

Post a Comment