Tuesday, January 12, 2021

Sedih

Hijrah dari Jakarta ke Jerman sudah menjadi mimpi gue sejak dulu. Melanjutkan studi S2 gue, lalu berkarir sebagai seorang profesional di perusahaan Jerman yang mapan. Sesekali berkontribusi pada dunia riset agar pengetahuan gue tetap diberi gizi. Begitu besar keinginan itu sampai sering kali gue tidak bersyukur akan berkat yang gue miliki sampai detik ini.

Hijrah ke Jerman bukan semata - mata impian, jaminan hidup lebih baik yang gue dambakan. Indonesia tidak seburuk itu, gue lahir dan besar dalam sistemnya. Namun memikirkan untuk membangun keluarga di dalam negeri ini sungguh rasanya tidak sanggup. Pendidikan yang mahal, rumah yang mahal dan pelayanan kesehatan yang kurang baik. Ketiga hal tersebut menjadi alasan mendasar impian yang menurut gue bisa dipenuhi di Jerman.

Tidak muluk - muluk sebetulnya, pendidikan di Jerman gratis dari KG sampai Postgraduate. Kultur gaya hidup yang lebih sehat dan pelayanan rumah sakit yang bagus ala negara - negara sosialis maju. Aset bukan hal yang gue dambakan, memiliki tempat tinggal yang layak buat keluarga gue itu lebih cukup. Kalau dipikir hal itu adalah cukup sederhana di Jerman, tapi mahal di Indonesia.

Kian lama mimpi itu terasa semakin hambar dan kabur, Siby yang dulu menggebu - gebu meraihnya terasa seperti orang asing sekarang. Dua sepupu gue sekarang sudah di Jerman atas impian yang sama, hijrah ke Jerman. Gue bahagia sekali bisa berbagi mimpi pada orang dekat gue, melihat mereka betul bahagia akan itu.. yang walaupun sebetulnya hati kecil gue bersedih. Perasaan iri itu nyata. Lalu gue kapan?

Gue punya keluarga kecil yang bahagia sekarang, sampai hari ini kebutuhan kami tercukupi dan kami bahagia. Karir gue juga perlahan terbangun, so far so good. Tidak ada masalah dalam hidup gue, kecuali hutang dampak pengobatan covid kemarin. Pun begitu gue optimis hutang itu terselesaikan. Lagi - lagi itu bukan alasan gue bersedih hari ini. Semua yang gue miliki hari ini luar biasa terbaik, things can‘t be better than this.

Dian dengan segala keberatannya tetap mendukung gue untuk ke Jerman, mengikuti langkah sepupu gue yang dimana adalah mukjizat atas segala kebuntuan gue tentang impian gue hijrah ke Jerman. Kami harus berpisah tahunan, kami sepakat hutang dibebankan atas namanya supaya gue bebas melenggang ke Jerman. Tuhan baik, luar biasa baik. Gue berjanji segala pemenuhan hidup dan penyelesaian hutang akan gue penuhi dari Jerman. Nanti semua selesai dan gue mapan, gue bisa dengan penuh kebahagiaan membawa Dian dan Naurielle ikut hijrah ke Jerman.

Kesedihan itu ada dan terus membayang, hari ini kesedihan gue timbul karena keirian bahwa kedua sepupu gue sebetulnya baru - baru saja mau hijrah ke Jerman dibanding gue.. bahkan gue ikut mengajari mereka dasar - dasar Deutsch juga meminjamkan buku les gue. Lantas malah mereka yang sudah berangkat duluan. Tapi apa lah itu!? Tiap - tiap orang ada kesusahannya sendiri, tidak pantas gue membandingkan. Sungguh bukan mentalitas orang yang berniat menjalani gaya hidup orang Jerman yang rasionalis. Lagipula apabila gue tidak pernah berbagi pada mereka, tidak ada mereka yang menjadikan mimpi ini terasa nyata kembali.

Gue harus belajar menangani kesedihan gue sambil menata hidup yang lebih baik demi hari ini dan masa depan gue. Dipikir - pikir pula, besok ada kesedihan yang lain. Gue harus berpisah dengan Dian dan Naurielle dalam waktu yang tidak sebentar. Gue harus kuat. So gue betul perlu terus fokus, pria harus punya mimpi yang dikejar dan prinsip yang dipegang. Walaupun kadang kesedihan atas asa yang tidak kunjung terasa nyata ini suka kembali, begitu lah asam manis kehidupan. Semua ini demi hidup yang baik, begitu gue kutip lagu DragonBall.

No comments:

Post a Comment