Friday, July 5, 2013

Santun, Si Madu Beracun

Ini merupakan ciri khas bangsa Indonesia, kesantunan ini sudah menjadi nilai luhur yang tertanam dalam banyak pola pikir orang Indonesia. Bukan bermaksud SARA, namun perilaku santun ini sangat kental bagi mereka berdarah Jawa. Kesantunan bersifat mutlak dalam segala aspek kehidupan, apabila kamu seorang atasan namun anak buahmu lebih tua maka seyogyanya kamu lebih santun saat memerintah atau memberinya tugas kantor... atau dilain kasus apabila kamu pihak berwenang dan ingin membekuk orang bersalah namun ternyata lebih tua ada baiknya kamu permisi dulu, sungkem pada orang tua yang akan dibekuk tersebut. Hebatnya kebiasaan ini menjadi kelebihan bagi kita saat mengabdi nafkah pada orang non-Indonesia, orang bule, kebanyakan mereka merasa asing dengan perlakuan kita ini dan menjadi senang.

Lagi - lagi tidak ada maksudku menyudutkan kebiasaan yang baik ini, namun kian lama kebiasaan ini semakin memburuk diperburuk oleh bobroknya mental bangsa kita yang harus diakui semakin menurun. Sekali salah seorang senior menceritakan pengalaman beliau saat bertemu guru besar kampusnya, dalam sebuah antrian jamuan makan beliau yang sudah mengantri duluan dan melihat guru besarnya tersebut datang mengantri di belakangnya lalu mengalah mundur mempersilakan guru tersebut mengambil tempat di depannya. Tidak, guru besar itu menolak, atas azas kesantunan seniorku mengalah namun ditolak mentah - mentah oleh guru besar tersebut. Kata beliau, guru besarnya mengatakan kesantunan boleh saja namun hak setiap orang tidak boleh terampas oleh karena itu. Terdengar kasar, apalagi bagi kita para penganut kesantunan.

Seperti pisau bermata dua, kadang kita tidak bisa menentukan mata pisau sebelah mata yang harus digunakan dan sekaligus merobek kita di saat yang sama. Rasionalitas memang kadang dipandang sebelah mata oleh orang kita, rasa toleransi yang tinggi atas kesantunan yang merusaknya. Alhasil banyak sekali kebiasaan buruk yang terjadi atas praktek pembiaran tersebut. Paham - paham kaum lama yang termasuk usang dan tidak masuk akal di era terkini tetap saja dilakukan, para kaum baru terancam mengubah maka itu terjadi pemberontakkan yang malah menyimpang. Penyimpangan yang terjadi pun terjadi secara frontal dan ada pula yang diam - diam, kemunafikan. Hal pertama kadang diikuti itikad baik walaupun kebanyakan benar - benar merusak, namun itu lebih baik dibandingkan hal kedua.

Sifat kesantunan ini dengan jelas menimbulkan kemunafikan, ini bukan cuma intermezzo karena buktinya sistem perpolitikkan kita sendiri dijalani dengan begitu. Korupsi, nepotisme, banyak lagi jenisnya. Sudahlah itu terlalu jauh. Mungkin ada baiknya kita mulai membuka diri, membuka diri atas apa yang kita hadapi sekarang dan atas apa yang generasi kita akan hadapi nanti lalu timbal balikkan pada diri kita. Yah, kesantunan itu harus didasari rasionalitas bukan perasaan "tidak enak". Ada kalanya kita memang harus menaikkan nada suara atau mungkin sampai membentak pada mereka yang lebih tua jika terjadi kekeliruan dipihak mereka, demi tercapainya hasil terbaik.

No comments:

Post a Comment