Wednesday, April 24, 2013

Ujian Negara. Ampuh?

Beberapa saat yang lalu ujian nasional baru saja dilaksanakan -hampir- serentak bagi pelajar SD sampai SMA atau yang disetarakan di seluruh Indonesia. Ujian ini dinilai penting bagi pemerintah maupun pelajar, tak sedikit porsi nilai yang diberikan, UN memiliki 60% andil dalam penilaian seorang pelajar yang ingin melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Sisanya nilai UAS dan nilai per semester yang diakumulasi sehingga dicapai 100% nilai penentunya.

Seperti yang telah gw katakan tadi, persoalan ujian negara ini tidak sepele, usaha yang kita bangun selama tiga tahun lamanya di bangku pendidikan bisa sirna hanya karena kesalahan satu hari. Bukan persoalan kecil, ini pun yang membuat para pelajar merasa ngeri menghadapinya. Persentasi ujian lima hari yang berandil lebih besar dari usaha tiga tahun ini seperti mungkin untuk memperjelas kepada pelajar betapa pentingnya ujian ini, namun di lain sisi ini sekaligus menjadi penekanan psikologis bagi para pelajar.

Ujian negara ini sudah berlangsung cukup lama, kira - kira ini mulai diberlakukan pada tahun 2003 - 2004 lalu. Bukan hal baru apalagi bagi negara yang tentunya bukan institusi kecil, seharusnya kita sudah cukup berpengalaman. Namun sayangnya tahun ini dilakukan dengan sangat berantakan, tahun ini sistem baru memang baru saja diberlakukan dari hanya 5 maksimal paket (seingat gw) yang tersedia dan kali ini dikembangkan menjadi 20 paket, 4 kali lipat lebih banyak dan cukup memastikan bagi mereka para pelajar agar bersiap dengan sangat mapan.

Tak sedikit SMA yang mengalami penundaan waktu ujian nasional, beberapa sekolah bahkan mengopi soalnya sendiri karena stok terbatas, sungguh kondisi yang memrihatinkan bagi sebuah ajang ujian tingkat nasional yang kita tahu cukup berpengaruh dalam kelulusan sorang pelajar. Tahun ini tantangan pelaksanaan lebih sulit yang tentunya dikarenakan jumlah soal yang lebih bervariasi yang berarti dalam pencetakannya lebih memakan waktu, namun ini tidak bisa dijadikan alasan bagi pemerintah hingga bisa terjadi "molor" di daerah. Seperti yang telah gw katakan tadi ujian negara sudah diadakan sekitar 9 tahunan seharusnya menjadi pengalaman yang sangat cukup. Lalu dengan kondisi terakhir ini apakah ujian nasional masih layak diadakan?

Layak mungkin masih, karena jika berani jujur tingkat pendidikan di Indonesia masih rendah. Tak usah dibandingan dengan negara lain, perbedaan kesetaraan pendidikan di Jawa saja belum merata, Jakarta dan daerah yang jauh dari kota, di daerah masih ada pelajar yang berangkat sekolah saja harus bertaruh nyawa menyebrang sungai dengan jembatan yang tidak layak pakai. Baru di Jawa yang notabene perkembangannya jauh lebih pesat dari pulau besar lainnya, apalagi di daerah terpencil dari perhatian pemerintah. Alasan itu pula yang menjadi hambatan diadakannya ujian nasional kali ini, media meliput dalam pendistribusiannya TNI kita sampai turut andil. Gw gak tau apakah ini hal yang "waw" atau bukan, karena seharusnya ini sama saja dengan tahun lalu, hanya saja kali ini dengan paket yang lebih beragam. Maka dari itu ujian nasional menjadi tepat dan layak diadakan untuk menyamaratakan tingkat intelejensi akademis pelajar Indonesia.

Gw sempat membaca artikel mengenai perbandingan sistem pembelajaran kita dan beberapa negara lain yang unggul dalam akademisnya. Kira - kira antara Jerman, Finlandia atau Jepang namun keseluruhan mereka sama. Tenaga pengajar bukan sembarang orang, di sini mungkin elite politik yang "dihormati" derajatnya namun berbeda dengan satu dari antara negara tersebut guru adalah tenaga ahli layaknya seorang insinyur di perusahaan swasta multinasional. Bukannya menilai jelek kinerja guru di Indonesia namun kebanyakan mereka terpatok oleh kurikulum walaupun yah tuntutan pemerintah yang membuat ini. Menjadi guru itu sulit, terutama TK atau SD karena ini adalah masa keemasan anak. Ilmu psikologis sangat dimainkan di masa ini, menentukan minat anak. Sementara apa yang kita punyai dari pelajar dalam masa itu? LKS yang wajib diisi tiap hari, itu pengalaman gw dulu. Kita dibentuk sebagai pengisi berkas. Finlandia tak mengenal sistem ini, guru yang mempunyai tanggung jawab dan hak dalam menilai kualitas murid bukannya ujian nasional, guru dipercayai oleh negara sebagai mediator langsung individu antar individu. Sehingga negara tak perlu menghabiskan milyaran anggaran demi terlaksananya ujian nasional yang perhitungannya sangat tidak proporsional.

Sangat tidak proporsional bagi gw karena tidak semua anak pandai dalam akademis, beberapa harus "dipancing" dengan praktek lalu dibimbing secara teori agar timbul rasa keingintahuan yang menimbulkan suatu semangat belajar. Berani gw menyatakan hal ini karena gw yang mengalaminya sendiri. Pelajaran yang gw benci dari mulai gw mempelajarinya hingga mulai gw biasakan sampai sekarang menjadi salah satu buktinya, Matematika, guru gw semasa SMK berhasil memraktekan hal tadi. Diberinya trik - tips dan mengerjakan banyak kasus - kasus penghitungan sebelum gw melaksanakan ujian nasional, semangat gw terpancing, alhasil nilai ujian nasional kali itu benar - benar bukan seperti gw yang sebenarnya. Nilai Matematika yang selalu dibawah pelajaran lain menjadi nilai terbesar dibanding mata pelajaran lain yang diujikan saat ujian negara. Tidaklah salah gw katakan sang guru lah yang memegang tanggung jawab mengenai semangat belajar pelajar.

Terlepas dari itu dalam ranah hukum pun seharusnya ujian negara sudah dapat dihapuskan, sudah ada putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Nomor 228/PDT.G/2006/PN.JKT.PST tertanggal 21 Mei 2007 lalu ditambah Putusan yang juga telah diperkuat oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Mahkamah Agung (MA) bahkan hakim juga menyebutkan bahwa ujian nasional ini berdampak buruk pada psikologis anak dan menanamkan perilaku korupsi. Begitulah kutipan yang kurang lebih sama yang gw dapatkan di detik.com beberapa hari yang lalu dalam artikel ini. Yah perilaku korupsi, karena praktek pembelian kunci jawaban itu, pembiaran mencontek namun tetap tenang atau bahkan guru sendiri memberi tahu jawabannya sudah menjadi hal gamblang dalam pelaksanaan ujian nasional.


Memang ujian nasional tidak dapat dihapuskan secara langsung namun bertahap, kualitas pengajar harus
lebih dimapankan terlebih dahulu bagi guru sekarang. Selanjutnya kita cari lulusan - lulusan terbaik dengan seleksi ketat minimal pendidikan setara strata 2 / master lah yang patut menyandang gelar guru dan mereka siap ditugaskan di daerah yang kurang mendapat perhatian pemerintah sekarang. Anggaran ujian nasional pun bisa dialokasikan untuk membangun sekolah - sekolah layak di seluruh wilayah Indonesia juga menyejahterakan para guru yang sudah mengabdikan dirinya untuk ditugaskan dimana saja demi mengajar anak Indonesia.

No comments:

Post a Comment