Wednesday, November 29, 2017

Perpuluhan

Masing - masing kita mengais rezeki, melimpahkan diri, memenuhi keinginan terutama kebutuhan. Gue bukan orang yang relijius, terlalu banyak sanggahan gue mengenai keimanan. Bukan berarti gue seorang atheis... well, gue akan bahas itu dalam artikel lain. Tapi pada intinya gue selalu percaya tentang adanya satu Entitas yang mengatur ini semua -- tentang bagaimana semua ini terjadi.

Dalam milayaran bahkan lebih momen yang tercipta, semua terkait satu sama lain. Bahwa apa yang kita miliki sekarang tidak akan pernah cukup untuk diri kita sendiri, namun mungkin bisa lebih jika kita membaginya ke orang lain. Gue seorang kristiani, agama gue mengarahkan gue untuk memberikan perpuluhan. Sepersepuluh sumbangan syukur atas buah usaha yang kita lakukan. Gue gak tau bagaimana agama Anda mengaturnya tapi esensinya gue tau sama.

Penuhilah kewajiban Anda, apalagi jika Anda seorang yang beragama. Menjadi tidak relijius bukan alasan untuk tidak berbagi. Sisihkanlah sebagian uang penghasilan Anda untuk berbagi, jika masih cukup maka bagi pula untuk yang kebetulan berpapasan dengan Anda. Amal, perpuluhan, funding atau apapun alasan menjadi trend yang cukup positif yang tidak pernah berhenti dari zaman ke zaman, baik untuk positif atau sebaliknya. Tidak pernah tabu bagi manusia untuk membagi hartanya.

Dan jangan lah Anda memilah yang akan menerima pemberian Anda tapi seleksi lah. Semua boleh menerima bantuan dari siapa saja, namun bukan semuanya berarti layak. Seleksi lah kelayakan tersebut. Mereka yang sedang jatuh, mereka yang berusaha, mereka yang tidak bisa berbuat banyak bantulah. Lakukan itu dengan cukup, bantuan yang berlebih justru menjerumuskan ke dalam musibah yang lebih dalam.

Ini bukan kesombongan, jika ini benar kesombongan maka lakukan lah itu. Buat orang lain bersaing dengan Anda dalam kebaikan itu!

Tuesday, October 24, 2017

Suci

Pada zaman modern ini, semua berlagak paling benar. Masing - masing manusia mengusahakan opininya menjadi suatu standar umum yang kemudian dimaksudkan agar dapat menjadi fakta tanpa ada usaha membuktikan kualitasnya. Usaha tersebut membutakan kita tentang bagaimana suatu hal semestinya. Menjadi standar yang kita anggap benar.

Parahnya urusan benar - salah ini merambah ke hal paling sensitif yaitu keimanan. Hal yang tidak pernah bisa diukur dalam satuan dan dilihat dalam bentuk. Keimanan yang tinggi dianggap sebuah keabsolutan kebenaran yang hakiki, sehingga yang menentanganya dapat dengan mudah dilabeli sebagai orang yang tidak suci. Maka berangkatlah orang modern zaman ini menuju "kesucian".
Paradigma tersebut timbul karena lemahnya pendidikan. Orang tidak menyadari tentang pentingnya suatu fakta yang dapat dipertanggungjawabkan. Mereka bermain dalam rumitnya tafsir keagamaan, membenarkan opininya dalam kutipan ayat. Agama tidak pernah salah, begitu lah pisau bermataduanya. Jika agama tidak pernah salah, maka manusia yang berpegang padanya tidak mungkin salah juga.

Dalam ketakutan terhadap fakta, manusia berlindung di gelapnya agama. Jujur saja, gue menemui banyak orang relijius yang sangat buruk tingkah lakunya. Padahal agama justru berperan sebagai tempat berteduh dan Anda tidak pernah bisa memaksakan orang lain untuk serumah dengan Anda.. lalu bagaimana pun juga Anda harus tetap meninggalkan rumah itu bukan? Demi bernafkah, lalu kembali setelah selesai.

Kesadaran tentang pentingnya pendidikan harus ditingkatkan. Gue gak mengatakan tentang wajib belajar 9 tahun ala program pemerintah. Pendidikan bukan lah hal yang dapat Anda raih cuma dari sekolah, manusia banyak yang berpikir usaha berpendidikan berhenti ketika dia menyelesaikan studi sekolahnya. Kesadaran ini pada akhirnya membuka pikiran manusia untuk menerima fakta walaupun bersebrangan dengan opininya. Bahwa dalam kerumitan momentum - momentum dalam hidup ini selalu ada pola yang dapat dipelajari untuk selanjutnya dapat ditingkatkan menjadi sesuatu yang lebih baik dan tidak semata - mata mengejar kebenaran sendiri saja.

Monday, September 18, 2017

Jika Hanya

Setiap kita memerlukan sesuatu untuk melakukan sesuatu, persyaratan demi persyaratan dibuat demi memenuhi suatu hal. Sering kali diperlukan namun tak sedikit yang tidak.. syarat menjadi dilema. Membuat batas - batas semu yang tidak mampu didefinisikan, oleh kerumitan yang dibuat sendiri.
Tak henti dunia membuka mata terbelalak atas apa yang mampu dibuatnya, gue sekarang lebih sering memahami dari pada menilai. Well, ini alasan gue jarang memperbarui konten blog ini. Ada perasaan aneh saat blog ini terbengkalai, ditambah dorongan beberapa temen yang suka iseng baca tulisan ngawur gue ini. Selamat gue sedang mengusahakan blog ini hidup.

Jika hanya... persoalan tersebut sering kali berakhir sebagai sebuah alasan dibanding argumen pendasar. Kita tidak terbiasa memenuhi setiap syarat, memetakannya secara terstruktur. Syarat dibesarkan dan disusun untuk menjegal satu sama lain membuat suatu kompleksitas yang "seolah" tidak terselesaikan, menjadi sebuah masalah yang lalu diabaikan.

Manusia secara naluriah dituntut memenuhi segala syarat, kita tumbuh dengan perubahan. Ruang dan waktu. Segalanya berubah menjadi sulit diraih, hal - hal mulai berbenturan satu sama lain, suatu kebutuhan dapat terpenuhi jika hanya kebutuhan lain ditiadakan. Tapi tidak, kedua (atau bahkan lebih) hal berbenturan tersebut adalah kebutuhan yang harus dipenuhi. Kita bisa saja memenuhinya di ruang yang berbeda, namun waktu selalu berjalan dalam satuan yang sama dan searah.

Pengorganisasian syarat menjadi penting, dipenuhi terstruktur, baik bersamaan ataupun berjeda menjadi padat dan penting sebab waktu terbatas. Pemenuhan "jika hanya" pada akhirnya membuahkan kualitas hidup yang baik, pribadi semestinya.. sebagaimana orientasi kita, sebagaimana diri kita seharusnya. Walaupun tak sedikit yang bertanya, "siapa aku?".