Monday, July 15, 2013

Feel o' Sophie

Dogma sesat, kebiasaan rusak sampai aturan sampah berlaku terus - menerus diturunkan tanpa ada penyataan bagaimana dan pertanyaan mengapa. Semua menganggap hal itu valid dan mutlak, bahkan sampai mengotakkan kepribadian Sang Khalik. Bodoh, kebiasaan bodoh. Mungkin nilai yang terkandung positif tapi tanpa ada peresapan makna malah merusak akhlak dan mental. Melakukan sesuatu atas dasar aturan yang berlaku yang dikaitkan dengan dasar yang mutlak, agama salah satunya, saling mengutip, saling mematenkan pemahaman masing - masing menimbulkan pertikaian yang justru merusak.

Tak pernahkah kita terpikir untuk berpikir? Memikirkan segala hal yang telah, sedang atau akan kita lakukan? Memetik makna positif dalam kubangan sampah tempat kita terjatuh sekalipun. Banyak yang mengharapkan emas batangan terinvestasi dalam kotak hartanya dan tidak ada yang mau menambang emas lalu membakarnya hingga murni. Banyak orang menyesalkan kesusahan hidupnya, tak sadar bahwa Tuhan sedang menghormati dirinya. Tidakkah hina jika diuji dengan hal sepele, yang kau telah taklukkan berulang kali. Diragukan atas hal yang sudah kau kuasai. Jika begitu kenapa masih saja mengeluhkan kesusahan hidup ini kawanku?

Berfilosofilah dalam hidupmu, agar kau temukan jalan terbaik dalam menjalaninya. Tak sesat jalanmu oleh perkataan - perkataan orang lain yang mencoba menghasutmu ataupun mereka yang mencoba baik namun membalikkanmu atas siapa dirimu sebenarnya, membawamu hidup dalam kemunafikan atas nama kebaikan. Adaptasikan setiap hal positif di dunia, adaptasikan dengan apa yang kau percaya, bukan pada hal yang membuatmu berbeda. Harapanmu adalah hal yang -harus- paling terakhir mati, Die hoffnung stirbt zuletzt. Mengoreksi diri demi tercapainya pribadi terbaik yang kau bisa sajikan pada mereka yang kau hormati, sayangi, cintai lalu pada akhirnya dan terutama kepada Tuhan.

Coba mengerti hal tersebut, itu baik pada dirimu. Jadinya tak perlu kau paksaan apa yang kau dengar dari orang lain kepada kerabatmu, setiap perselisihan paham sesungguhnya tak selalu mengenai suatu kebenaran melainkan kesepakatan sejatinya. Namun kita semua dibutakan oleh hebatnya kemutlakkan kebenaran, karena kita tidak memahami apa yang sesungguhnya terkandung dalam hal yang kita percayai dan hanya menganggap itu adalah kebenaran yang harus dimutlakkan. Kesepakatan yang telah diraih adalah kebenaran tersebut, ini menuntut pola pikir kita untuk menyerap makna suatu hal pada intinya dan tentunya itu sangat mendasar lalu dapat diserap semua kalangan, dimulai dari dirimu. Renungilah hidupmu.

Friday, July 5, 2013

Santun, Si Madu Beracun

Ini merupakan ciri khas bangsa Indonesia, kesantunan ini sudah menjadi nilai luhur yang tertanam dalam banyak pola pikir orang Indonesia. Bukan bermaksud SARA, namun perilaku santun ini sangat kental bagi mereka berdarah Jawa. Kesantunan bersifat mutlak dalam segala aspek kehidupan, apabila kamu seorang atasan namun anak buahmu lebih tua maka seyogyanya kamu lebih santun saat memerintah atau memberinya tugas kantor... atau dilain kasus apabila kamu pihak berwenang dan ingin membekuk orang bersalah namun ternyata lebih tua ada baiknya kamu permisi dulu, sungkem pada orang tua yang akan dibekuk tersebut. Hebatnya kebiasaan ini menjadi kelebihan bagi kita saat mengabdi nafkah pada orang non-Indonesia, orang bule, kebanyakan mereka merasa asing dengan perlakuan kita ini dan menjadi senang.

Lagi - lagi tidak ada maksudku menyudutkan kebiasaan yang baik ini, namun kian lama kebiasaan ini semakin memburuk diperburuk oleh bobroknya mental bangsa kita yang harus diakui semakin menurun. Sekali salah seorang senior menceritakan pengalaman beliau saat bertemu guru besar kampusnya, dalam sebuah antrian jamuan makan beliau yang sudah mengantri duluan dan melihat guru besarnya tersebut datang mengantri di belakangnya lalu mengalah mundur mempersilakan guru tersebut mengambil tempat di depannya. Tidak, guru besar itu menolak, atas azas kesantunan seniorku mengalah namun ditolak mentah - mentah oleh guru besar tersebut. Kata beliau, guru besarnya mengatakan kesantunan boleh saja namun hak setiap orang tidak boleh terampas oleh karena itu. Terdengar kasar, apalagi bagi kita para penganut kesantunan.

Seperti pisau bermata dua, kadang kita tidak bisa menentukan mata pisau sebelah mata yang harus digunakan dan sekaligus merobek kita di saat yang sama. Rasionalitas memang kadang dipandang sebelah mata oleh orang kita, rasa toleransi yang tinggi atas kesantunan yang merusaknya. Alhasil banyak sekali kebiasaan buruk yang terjadi atas praktek pembiaran tersebut. Paham - paham kaum lama yang termasuk usang dan tidak masuk akal di era terkini tetap saja dilakukan, para kaum baru terancam mengubah maka itu terjadi pemberontakkan yang malah menyimpang. Penyimpangan yang terjadi pun terjadi secara frontal dan ada pula yang diam - diam, kemunafikan. Hal pertama kadang diikuti itikad baik walaupun kebanyakan benar - benar merusak, namun itu lebih baik dibandingkan hal kedua.

Sifat kesantunan ini dengan jelas menimbulkan kemunafikan, ini bukan cuma intermezzo karena buktinya sistem perpolitikkan kita sendiri dijalani dengan begitu. Korupsi, nepotisme, banyak lagi jenisnya. Sudahlah itu terlalu jauh. Mungkin ada baiknya kita mulai membuka diri, membuka diri atas apa yang kita hadapi sekarang dan atas apa yang generasi kita akan hadapi nanti lalu timbal balikkan pada diri kita. Yah, kesantunan itu harus didasari rasionalitas bukan perasaan "tidak enak". Ada kalanya kita memang harus menaikkan nada suara atau mungkin sampai membentak pada mereka yang lebih tua jika terjadi kekeliruan dipihak mereka, demi tercapainya hasil terbaik.

Monday, July 1, 2013

Siraman Teh

Teh, siapa yang tak kenal teh? tak kenal tingkatan kasta saat minum teh, keyakinan apa saja boleh menikmati cita rasa teh sampai yang tak berkeyakinan sekaligus, ras apa saja boleh minum teh walaupun kita terkadang rasis juga dalam mengelompokkan teh. Teh hitam, teh hijau dan teh merah atau entah ada kategori apa lagi bagi teh ini. Dinikmati pagi - siang - malam sah saja, berbeda dengan kopi -- walaupun sama - sama minuman tanpa batas tapi kopi sangat tidak disarankan bagi kalian yang ingin bangun pagi untuk dikonsumsi pada malamnya. Dingin atau panas sah saja, tak ada batasan bagi penduduk belahan bumi manapun sampai astronout yang sedang bertugas pun dapat menikmatinya. Tak ada pantangan minum teh, aku tak tahu jika ada penyakit terkait jika menikmati teh, paling setahuku hanya hambatan gula bagi mereka "pemilik" penyakit yang dapat terpicu oleh glukosa yang terdapat di dalam gula. Tanpa gula pun tetap nikmat.

Jika kalian kesal terhadap seseorang siram saja dengan teh, jika kalian tidak didengarkan siram saja dengan teh, teh sekarang pun bisa menjadi penyampai aspirasi yang sehat dan manis (jika pakai gula). Siraman teh lebih nikmat dari pada siraman rohani, sebab seperti yang aku sampaikan tadi, teh tak mengenal batasan ruang dan waktu. Teh juga bisa memadamkan amarah seseorang, sering kali kutemui dalam rapat - rapat "dengan urat" anggotanya disuguhi teh -- mungkin sebagai pereda emosi, mungkin.

Mungkin teh juga bisa memadamkan panasnya api yang kemarin sempat berkobar di Riau yang asapnya sampai ke rumah tetangga atau bisa saja kita suguhi saja mereka dengan teh agar presiden kita tak perlu meminta maaf pada mereka. Seakan musibah itu kesengajaan bangsa. Sementara di lain waktu presiden kita sedang sibuk menerima kaos jersey dalam pertemuan kehutaan bertema mangrove / bakau yang menurut ku gak nyambung. Gak senyambung teh yang bisa diminum bagaimanapun, mungkin pak pres kita ini butuh siraman teh.

Siraman teh itu esensinya bisa mengandung arti dalam, disiram teh kita diharapkan mau peduli terhadap sekitar seberapa buruk, jelek atau bodohnya itu. Kita bisa lebih mau mengerti sehingga kita menjadi pribadi yang universal namun khas apa adanya seperti teh. Jadi gak seperti siraman rohani tadi, sebatas agamamu.... begitu kamu pergi ke rumah orang lain pemahamanmu kurang dimengerti bahkan ditolak, berbeda dengan teh. Lalu kamu juga tidak perlu memaksakan pemahaman rohani mu pada orang lain sampai kau mengusir dari rumahnya seperti yang terjadi pada saudara kita di Sampang, mereka sempat tidak bisa menikmati teh di rumahnya. Halah jangankan menikmati teh di rumah, membeli teh pun rasanya sulit karena hidup terbengkalai bak bangkai sementara presidennya sedak asyik dijamu teh di New York sambil menerima penghargaan terkait kemanusiaan. Aku juga terlambat info soal saudara kita di Sampang ini apakah mereka sudah bisa lagi menikmati teh. Aku terlampau santai menikmati teh ini.

Teh sudah dinikmati sejak perang kolosal terjadi seperti The Legend of Three Kingdoms terjadi, bom atom pertama dijatuhkan sampai sekarang pun masih. Dan yah semua itu diperangkan bukan atas nama teh bahkan dalam "panas"-nya peperangan tersebut terkadang mereka juga menikmati teh tak peduli kubu musuh juga penikmat teh, tanpa gengsi mereka menikmati teh bersama walau dalam kubu berlawanan. Secara tak sadar teh sudah menyatukan kita. Oh siraman teh.