Wednesday, September 18, 2013

Konservatif Atau Bodoh Beragama?

Dunia bergejolak, berubah & berkembang melampaui apa yang telah kita biasakan. Kebiasaan baru diadaptasikan bukan untuk melawan aturan lama tapi demi mencapai tujuan yang hakiki dengan cara lebih baik. Tak semua orang menerima perubahan, apalagi terhadap hal mendasar yang telah diberlakukan sejak dulu. Sering kali tanggapan kontra timbul terhadap suatu perubahan, perubahan yang diciptakan dianggap mencoreng kepercayaan.

Takut? Yah bisa saja, perubahan bisa dianggap sebagai ancaman. Dianggap sebagai pengalihan orientasi terhadap apa yang dipercaya awalnya, pengalihan dengan tujuan mengubah apa yang kita percayai selama ini dan menjadi sesat -- merusak kepercayaan tersebut. Hal ini wajar karena sebagai orang yang melakukan suatu kepercayaan pasti menjaga apa yang dipercayainya, yup tidak ingin diragukan. Klasik, sifat dasar manusia.

Sayangnya kita tidak bisa menghentikan terbitnya matahari, perubahan musim atau apapun yang alam sudah janjikan, begitupun keingintahuan manusia. Keingintahuan memberikan pengalaman & pemahaman baru. Sebelum mengenal alat tukar (uang), persembahan rasa syukur kepada Sang Khalik sering kali dilakukan dengan pembakaran hasil panen, perubahan dunia memaksa kebiasaan konservatif tersebut. Surat debit (uang) dalam dunia ekonomi malah dijadikan alat persembahan tanda bersyukur. Buatan manusia demi kebaikan ilahi.

Yah kebaikan ilahi, demi tercapainya Kemuliaan Tuhan. Kita memuliakan Tuhan bahkan dengan cara yang tidak lagi konservatif. Oia aku takut salah kaprah, Tuhan memang mulia, tapi dalam kasus ini kita memuliakan Tuhan dalam hidup kita. Sebuah arti bahwa kita memaknai kehadiran Tuhan dalam hidup kita dengan mulia. Apakah memuliakan Tuhan dengan cara konserfativ patut untuk tetap dipertahankan?

Seperti yang ku katakan tadi, jelas ini kontroversial. Hal - hal yang telah lama diberlakukan dianggap suci untuk ditinggalkan, meninggalkan hal tersebut dianggap dosa. Termasuk pola pikir manusia, yah ini lah intinya, pola pikir manusia.

Baiklah harus kuakui beberapa hal dasar yang dilakukan dalam memaknai ketuhanan tak ada salahnya dipertahankan, demi tercapainya kenikmatan sejati kita bertuhan. Itu hal individual yang tak satupun berhak melarangnya selama itu tak melanggar aturan yang sah & mendasar secara agama & hati nurani manusia. Namun sering kali yang kutemukan hanya doktrin & dogma agama yang dipercayai, bukan Tuhan sejati yang bebas.

Berhenti mengotakkan Tuhan, bagiku itulah kejahatan terbesar manusia. Berkata seolah itu yang Beliau inginkan dan pikirkan, hanya berlandaskan kebiasaan - kebiasaan lama yang diberlakukan tanpa ada peresapan makna keilahian dalam kebiasaan tersebut. Perubahan dunia akan membuka mata kita tentang apa yang Tuhan ciptakan dengan logisnya, teori - teori konservatif tanpa peresapan makna akan menolak itu membawa kita menuju dua arah. Kehilangan arah dan meniadakan Tuhan, mencari tuhan baru atau malah berkutat bertahan, menutup diri -- menjaga sosok Tuhan sesuai apa yang telah diajarkan kepada kita, doktrin. Konserfativ atau tidaknya ada baiknya kita memahami makna terkandung dalam peribadatan yang kita lakukan demi Tuhan.

Thursday, September 5, 2013

Istana Jidat Sendiri

Muak dengan omong kosong ini, dunia lain, palsu penuh keegoisan. Semua mengharapkan kesempurnaan tapi bertahan dalam zona nya masing - masing, saling menjatuhkan, mendorong keinginan perubahan. Munafik, semuanya munafik.

Sepaham, mungkin iya, semua sepakat mempertahankan idealismenya sendiri - sendiri. Ketidakpedulian pada nilai - nilai baik yang hakiki. Mungkin kebaikkan sudah ketinggalan jaman, sudah tidak lagi menarik diperjuangkan. Asing menjadi baik.

Mau bertahan lama? Dunia berkembang, begitupun individunya. Semua berjalan menjauh mengikuti idealismenya, hanya ikatan darah yang mengikat, tapi apalah Ayah tiri menjadi lebih manusiawi dari pada Ayah kandung. Ikatan permanen apapun fana sekarang ini.

Hingga suatu saat badai mengganggu, menggrebek kami pada ruang remang kesenangan pribadi memaksa menyatukan atas nama kesedihan, memilukan. Air mata beku yang jatuh, rasa kehilangan palsu, ketika matahari mulai nampak kami berlindung dalam masing - masing ruang remang.

Beginikah diteruskan pada anak cucuku? Mereka akan merasakan kesedihan Ayah Kakek Buyutnya, hingga mereka menjadi besar di luar yang sebelumnya diperkirakan. Menurunkan apa yang diadaptasikan, menjadi dingin dan hilang. Hangatnya api unggun yang dinikmati di gelapnya hutan telah padam, berkelana masing - masing, tersesat dan menjauh.

Tuhan memang pembunuh perasaan yang baik, dalam pengadaptasian dunia kesendirian dimana aku ditumbuhkan, diberikan oleh-Nya bibit kepedulian yang tumbuh merusak dogma ku atas apa yang dunia perlakukan padaku. Baiklah Tuhan, Kau melakukan ini dengan baik. Tapi aku muak.