Saturday, March 16, 2013

Mount Bromo Trip. [III]

Akhirnya sampai juga di perumahan Suku Tengger, malam itu cukup indah, bintang terlihat jelas. Berbeda dengan kota yang langit malamnya berwarna oranye. Begitu sampai kami dihampiri jasa atau mungkin calo yang menawarkan Jeep. Ada dua pilihan wisata, 2 titik atau 4 titik. Gw tidak hapal betul tarif 2 titik wisata, mungkin sekitar 400 - 500 ribu jika tidak salah dan 4 titik dengan tarif 750 ribu. Dengan beberapa perundingan dan juga tawar - menawar akhirnya kami memilih tujuan 4 titik wisata dengan harga 650 ribu *tarif penyewaan Jeep dan supirnya* dengan tiket masuk yang kami tanggung sendiri. Setelah tawar - menawar itu kami berfoto sebentar lalu beristirahat sebelum nanti sekitar pukul 4 subuh kami memulai perjalanan kami menggunakan Jeep menuju pendakian pertama Gunung Bromo, tempat kami menyaksikan matahari terbit.

Tiba saatnya kami berangkat, menurut gw sih istirahat tadi cukup namun teman - teman yang lain sepertinya tidak, mereka masih mengantuk. Sebelum masuk ke kawasan wisata kami harus membeli tiket terlebih dahulu sambil mampir buang air kecil dengan antrian yang cukup lumayan dan tarif toilet yang cukup menggila. Tak apalah. Benar, teman - teman belum merasakan istirahatnya tadi dengan baik, sepanjang perjalanan menuju titik pertama semua tertidur kecuali gw dan supir walaupun dengan jalan yang memang tidak rata, namanya juga jalan gunung. Sepanjang jalan benar - benar gelap - gulita, kami tidak berangkat sendiri saat itu, banyak rombongan Jeep lain yang memiliki tujuan yang sama sehingga jalan yang nampak "buta" tersebut setidaknya cukup jelas arahnya. Setelah melewati padang pasir di daerah itu, kami naik lagi dengan tanjakan yang cukup terjal. Seperti yang gw bilang pada artikel sebelumnya, medannya memang berat, mobil - mobil kota takkan mampu melewatinya. Di perjalanan itu gw temui beberapa pengendara motor yang juga sedang naik menuju tujuan yang sama, beberapa tumbang dan harus menepi karena mesin yan tidak kuat. Di samping pengendara Jeep yang tidak memacu pelan kendaraannya, dengan medan terjal begitu memang tidak mungkin memelankan kecepatan dan juga malam itu sudah dapat dipastikan tidak ada yang turun ke bawah melawan arus naik.

Titik Pertama :

Tempat kami menyaksikan matahari terbit, akhirnya kami sampai. Perbedaan suhu yang cukup signifikan dibanding di perumahan Suku Tengger tadi, memang dingin di tempat tadi, tapi ini benar - benar dingin. Perlahan kami menaiki tangga menuju tempat tertinggi di tempat itu, suhu yang dingin dan minim pencayahaan menahan kecepatan kami. Sudah ramai di tempat itu, sulit sekali mendapat tempat terbaik. Subuh itu kami menunggu, menunggu sang surya untuk terbit. Di antara kami tidak ada yang tau arah timur pada daerah itu sehingga hotspot yang sebenarnya telah kami tempati malah kami tinggalkan dan itu ulah gw haha. . . Matahari mulai terbit, semua orang berkumpul di tempat yang lebih mengarah timur, kami harus mencari celah demi mendapatkan sudut terbaik dengan kondisi yang sudah ramai itu agar matahari terbit terlihat setidaknya cukup jelas. Gw bersama Unyi mencari tempat lain, yang terlewatkan oleh orang lain. Ternyata ada, walaupun matahari sudah cukup "di atas" tapi tak apalah lanjutkan saja. Selesai itu kami mencari mushola, teman - teman gw ingin melaksanakan ibadahnya. Suhu itu memang dingin, banyak yang melewatkan ibadahnya waktu itu tapi teman gw tak mau. Kesulitan air tak menghambat mereka, wudhu menggunakan pasir pun dilakukannya. Lalu kami turun sedikit lagi di mana kios - kios menjajakan dagangannya untuk sarapan, 2 buah pisang goreng, mie ukuran dobel dan jahe hangat menjadi menu sarapan gw pagi itu.




Titik Kedua :

Tujuannya kali ini kawah belerang, kami ada batas di mana mobil Jeep harus diparkirkan sehingga kami harus lanjut menuju kawah itu dengan berjalan kami di tengah hamparan Padang Pasir Bromo dan kotoran kuda yang tak jarang kami temui. Untuk informasi, mayoritas penduduk Suku Tengger itu adalah pemeluk agama Hindu, tak asing ketika gw menemukan satu - satunya bangunan di tengah padang pasir itu, sebuah Pure yang sepertinya telah dibangun cukup lama karena terlihat sangat natural dan handmade menurut gw. Itu cukup melelahkan, selain karena matahari yang cukup cerah sehingga pasir - pasir itu memantulkan cahaya dengan cukup baik juga medan perjalan yang menanjak ditambah dengan bau kotoran kuda yang menyengat. Yeay! Perjalanan itu memang berbukit namun sebelum tiba di kawah kami menaiki sebuah tangga yang konon siapa pun yang menghitungnya pasti takkan pernah sama jumlah anak tangganya. Yah jelas, perjalanan naik itu dilakukan dengan perjalan yang cukup jauh sekitar 1 kilometer atau mungkin lebih menurut perkiraan asal gw dan uap belerang yang semakin mendekat maka semakin tercium baunya. Setiba di atas pun kami tak lama, napas kami sesak, mata kami pedih, kandungan belerang di atas situ cukup kuat. Anehnya demi view di situ, tak sedikit orang tua yang membawa balita dan bayinya, cukup mengecewakan. Setelah itu kami langsung turun. Di perjalan turun, lagi kami bertemu senior kami dari SMK yang sebelumnya bertemu di kereta. Reuni kecil sempat kami lakukan lagi.

Titik ketiga:


Inilah bukit teletubies, tak seperti yang gw bayangkan sebelumnya. Ada sebuah rumah kecil ala Hobbit di film trilogi Lord of The Rings, matahari bayi, kelinci liar yang bersahabat dengan makhluk teletubies atau mungkin kios penjual kue tubbie setidaknya. Ternyata julukan itu diberikan karena wilayahnya yang berbukit, sangat ingin menaklukan bukit - bukit kecil itu dan tidur di sana, seperti yang dilakukan para teletubies, namun kami sedikit cukup merasa lelah dan juga matahari sudah cukup terik. Kami mencari daerah dekat yang jarang ilalangnya, gw dan Yoga tidur di situ sementara teman yang lain hanya duduk - duduk saja beristirahat. Entah berapa lama gw tertidur saat itu, matahari membangunkan gw dengan teriknya. Sial benar - benar panas. Gw langsung terbangun dan begitu pun Yoga, kami menuju sebuah PKL di dekat Jeep kami di parkir sambil diikuti yang lain di belakang. Ternyata mereka juga merasakan yang sama, akhirnya kami melanjutkan ke titik yang terakhir saja.

Titik terakhir:

Sebenarnya tidak ada yang spesial dari tempat ini, hanya saja jika kita memilih sudut yang tepat, foto - foto yang kita ambil di situ akan terasa arabian desert wannabe pada hasil potretannya. Hanya sebentar saja, bahkan Linda dan Yoga tak ikut turun, selain suhu, angin yang berhembus membawa banyak pasir dan itu terasa tidak nyaman bagi kami, kami langsung menuju Jeep saja. Kali ini gw dan Iinu bertukar posisi duduk, awalnya dia di depan bersama Linda. Diubah karena Unyi, Ulul, Iinu dan Yoga ingin bermain poker bersama di belakang. Unyi diam - diam tertarik juga akan permainan itu dan mereka bermain sepanjang perjalan kami kembali ke perumahan Suku Tengger.

Kembali. . .

Setibanya di perumahan Suku Tengger, kami langsung berpaling ke Malang. Lelah sudah jelas terasal. Hanya Yoga dan Ulul yang benar - benar terjaga sepanjang perjalanan sementara sisanya sesekali tertidur. Istirahat memang perlu, kami tiba pada kondisi di mana Yoga menggila dalam membawa kendaraan yang kami naiki. Tepat di belakang kami sebuah tronton terus membunyikan klaksonnya, bukan kepada kami, tapi kepada mobil Jeep jauh di depan kami. Mobil itu berjalan pelan di ruas jalur cepat, tak tahu sengaja, tak tahu atau iseng. Tertahan 4 mobil di belakangnya dan beberapa motor. Tak tahan, Yoga memacu kendaraan melawan arah. Gw sadari 1 hal, pengemudi Jeep tersebut itu sepertinya bodoh dalam berkendara. Dia tetap menjaga posisinya dan mobil di depan kami sudah sangat dekat. Tuhan masih melindungi perjalanan kami, kami selamat. Salah saja maka itu adalah kecelakaan mobil, gw yakin betul Yoga dan Ulul takkan turun dari mobil dengan keadaan normal lagi.

Akhirnya kami benar - benar bisa beristirahat, Unyi dan Ulul tak langsung istirahat. Ulul harus menemani Unyi mencari langsung tiket pulang menuju Jakarta, urusan bisnis menunggunya lusa, jika berangkat bersama kami maka dia akan melewatkan rapat penting itu. Walaupun harus ngeteng yang notabene lebih mahal, jauh dan lebih melelahkan tapi itu tetap dilakukannya. Sorenya Iinu bersama Yoga mengembalikan mobil, Linda dan gw lanjut beristirahat. Setelah Ulul selesai menemani Unyie sampai berangkat dan Yoga dan Iinu pun selesai kami mencari makan malam. Tidak mungkin gw dan Yoga tidur di kos Iinu maka kami berpindah ke kos Ulul. Yoga langsung tertidur tak lama kami merebahkan badan di kasur Ulul. Paginya dia langsung berangkat ke Yogya dan sore sekitar pukul 4 gw dan Linda juga berangkat menuju Jakarta.

@Stasiun Malang

@Stasiun Jatinegara, Temenin Linda Menunggu Kereta ke Bogor.



Thursday, March 14, 2013

Mount Bromo Trip. [II]

Iinu's secret weapon?!
Sekarang lanjut review gw setibanya di Malang setelah perjalanan yang cukup panjang tadi. Teman kami, Iinu, sudah menunggu di terminal untuk memandu kami menuju kos-nya. Check point pertama, kos Iinu. Oia satu hal yang menarik perhatian gw, jalan - jalan di Surabaya yang jalan utamanya terdiri dari 3 ruas dimana ada taman cukup ramai tanaman sebagai pembatas antar arah berlawanan dan pepohonan rindang di situ dan di tepi jalan di perjalanan gw sebelumnya dari stasiun menuju terminal cukup menyegarkan apalagi bila diingat itu sebuat kota dibanding kota tempat gw tinggal yang cukup gersang. Berbeda dengan Malang, jalannya cukup rumit, tidak sedikit gw temui perempatan jalan. Sungguh membingungkan bagi mereka yang baru tiba di daerah itu termasuk gw, tapi tak apalah, ada Iinu sebagai guide.

Istirahat sambil menunggu Ulul yang sedang memraktekan materi kuliahnya, mengamati dan menyimpulkan reaksi ikan yang diberi deterjen. Gw masih kurang paham dengan tujuan itu, yang gw tau, gw bisa langsung simpulkan efeknya pada ikan itu. Mati. That's all. Tapi secara ilmiah dan mungkin dibutuhkan data dan fakta mengenai dampak limbah rumah tangga terhadap ekosistem maupun ikan itu. Sekaligus gw bersama Linda menunggu Yoga dan Iinu yang sedang pergi menyewa mobil dengan motor Iinu sebagai jaminannya. Hanya Yoga yang bisa mengendarai mobil saat itu, namun menurut gw Yoga masih kurang berpengalaman sehingga terjadi beberapa kali mati mesin saat mengoper gigi but afterall our trip, he's a cool driver.

Watch out!! Yoga was driving.
Setibanya malam, yah karena kami ingin menyaksikan sunrise dari Gunung Bromo jadi kami memutuskan berangkat di waktu itu. Sebelumnya kami mampir di daerah Batu, nama yang aneh, tapi di sana ada tempat wisata kuliner yang asyik. Ada tansu (Baca: Ketan Susu) yang legendaris, katanya, pokoknya tansu dari Kemayoran, Jakarta gak ada tandingannya. Itu enak -- Udah gitu aja. Di awal kami ditolak oleh dua kios pedagang karena mereka kehabisan stok dan anehnya gw perhatikan pelanggan mereka seperti terus bertambah padahal dengan kondisi mereka yang kehabisan stok.

Selang dari kios pertama ke kios selanjutnya, kami sempatkan naik bianglala. Itu cukup seru lho, pemerintah di sana sepertinya tau betul cara menghibur warga, cukup tiga ribu sudah bisa menikmati itu dan anehnya di hari libur itu tidak ada antrian. Mungkin warga di sana sudah bosan, tapi bagi turis lokal kayak gw itu hiburan. Selesai dari itu dan penolakan kami di kios ke dua dan mulai putus asa dengan menu tansu malam itu, kami bertolak ke kios susu segar, bukan STMJ -- gw gak tau artinya apa -- yang kata Jupe sampai tumpeh - tumpeh. Itu enak dan inilah yang mungkin disebut orang lain takdir, the real legendary tansunya malah ketemu dan doi masih jualan. Gak sia - sia akhirnya, sambil nunggu pesanan kami yang memang lama, tidak gw ragukan pelanggannya mengantri, peluang bisnis sepertinya, Linda, Iinu, Yoga dan Ulul pun bermain poker dan gw bersama Unyi hanya menonton. Cukup lama kami menunggu dan rasa penasaran timbul kapan kami dilayani..... Oalah ternyata pesanan kami terlewat, setelah itu kami langsung dilayani dan mendapat pesanan kami.

Kenyang dengan tansu dan susu segar kami berpaling ke Gunung Bromo, seperti yang gw bilang tadi mengenai pengalaman Yoga menyetir. Akhirnya kami pun berinisiatif untuk berusaha tidak terlelap untuk menemani Yoga sampai tujuan. Apalagi dengan kodisi jalan yang menanjak, itu kenapa gw salut sama dia karena sukses membawa kami sampai ke atas. Walaupun terjadi sekali secara tidak sengaja mesin mati ditanjakan karena kami berpapasan dengan mobil yang turun sehingga Yoga harus menurunkan kecepatan sambil menjaga agar mobil tidak mundur, semua terdiam seperti menahan napas seolah hembusan napas bisa mendorong mobil mundur ke jurang. Mungkin berlebihan tapi begitulah momen itu berjalan. Selanjutnya perjalanan kami cukup mulus sampai akhirnya sekitar pukul 2 pagi kami tiba di check point kedua, perumahan Suku Tengger untuk selanjutnya menaiki Jeep yang disupiri oleh warga sekitar yang berpengalaman terhadap jalur Gunung Bromo karena medan yang ditempuh cukup berat bagi mobil biasa dan berbahaya bagi mereka yang tidak tahu betul wilayah itu.

Wednesday, March 13, 2013

Mount Bromo Trip. [I]

Tulisan ini gw buat demi membunuh waktu dalam perjalanan kembali kami ke Jakarta dari Malang. Sudah kira - kira 11 jam sejak keberangkatan kami dari Malang sekitar pukul 15.40 karena kereta yang kami naiki ditunda keberangkatannya untuk hal yang tidak jelas yang seharusnya berangkat pada 14.50. Cukup terasa sepi kepulangan kami sekarang, selain lelah beberapa dari kami harus pergi meninggalkan terlebih dahulu karena urusan bisnis dan ada pula yang melanjutkan perjalanannya ke tempat lain sehingga hanya tersisa kami berdua pada perjalanan pulang ini. Gw dan Linda.

Semua ini bermula dari keinginan salah satu dari kami, gw lupa siapa itu, di antara Unyi dan Yoga untuk melakukan backpacking ke Gunung Bromo. Tentunya dibarengi dengan tujuan awal untuk berkunjung ke dua teman kami, Iinu dan Ulul, yang sedang menyelesaikan pendidikan strata satu mereka di Universitas Brawijaya, Malang. Dari Jakarta kami berangkat berempat, gw, Yoga, Unyi dan Linda. Pada 15.35, 9 Maret 2013 kami berangkat menuju Surabaya, kami kehabisan tiket langsung menuju Malang sehingga harus ngeteng. Perjalanan yang cukup melelahkan bagi gw, itu pertama kalinya bagi gw untuk bepergian dengan kereta dengan jangka waktu yang cukup lama, 13 jam perjalanan kami. Itu pun terjadi pada yang lain, hal konyol pun terjadi pada Yoga, membeli koran yang diniatinya untuk dibaca diperjalanan yang ternyata dijual hanya untuk alas tidur. Alhasil dia kebingunan dengan koran yang dibelinya yang notabene waktu beredarnya sudah cukup usang dan hanya beberapa lembar saja. Sampai kami harus menjelaskan koran yang dibelinya bukanlah berita lagi melainkan alas tidur.

Oia sebenarnya seharusnya Yoga berada pada jatah kursi penumpang yang berbeda dari kami bertiga, karena dia membeli tiket di waktu yang berbeda dengan kami. Untunglah tempat kami tidak terisi penuh oleh penumpang lain, walaupun katanya tiket telah sold out tapi banyak sekali kursi kosong, gw tau itu ulah calo, tepat di posisi berhadapan tiga kursi, dua di antara depan kami kosong sehingga Yoga bisa bergabung dengan kami ditambah satu pria yang bergabung dengan kami, Mas Andi jika tidak salah namanya. Lima orang menuju Surabaya namun Mas Andi turun terlebih dulu karena tujuannya adalah Semarang. Sebelum berangkat Unyi dan Yoga pergi menuju kursi yang nomornya sesuai tertera pada karcis Yoga dan bertemu beberapa senior kami sewaktu SMK dulu, sempat terjadi reuni kecil saat itu.

Lari Nyi, Lari!
Di sepanjang perjalanan gw menyaksikan kehebatan Indonesia, lautan sawah membentang luas. Cukup melegakan mata ibukota ini yang sudah kenyang "dicekoki" muram dan sibuknya kendaraan. Lalu menjadi pertanyaan kecil mengapa kita harus mengimpor beras. Ah tidak gw pikirkan terlalu dalam, gw ingin berlibur. Sekitar pukul 5 pagi akhirnya kami tiba di Surabaya, tak lupa berfoto ria di stasiun Surabaya, terjadi momen lucu ketika Unyie secara tidak sengaja mengatur kamera dengan delay waktu yang hanya dua detik dan dia harus berlari menghampiri kami yang sudah siap berpose. Tentu dengan gap yang sedikit itu Unyi tidak bisa bergabung berpose bersama, hanya terlihat sekelias Unyi sedang berlari. Momen itu diulang, tentunya dengan gap waktu yang diperlama menjadi 10 detik agar cukup waktu bagi Unyi untuk menyetel kamera lalu berlari berpose bersama kami dalam sesi pemotretan itu.

Tak lama pemotretan itu, teman gw harus melaksanakan ibadahnya . Gw menunggu mereka menyelesaikan itu sebelum kami melanjutkan perjalanan kami mencari sarapan dan terus menuju Malang. Sewaktu sarapan gw melihat seorang penarik becak yang sudah cukup tua pada kondisi yang memrihatinkan bagi gw. Tidak bisa melakukan apa - apa, gw berharap beliau bisa membaik. Setelah sarapan kami berpaling menuju terminal Surabaya dan selanutnya naik bus menuju Malang, akhirnya mendapat kursi dengan posisi nyaman. Sepanjang perjalanan gw terlelap.

Perjalanan Menuju Terminal Surabaya.


Monday, March 4, 2013

Logika vs Iman


Kedua hal yang tidak pernah dapat disatukan kata kebanyakan orang, selain dianggap tabu, faktanya orang - orang yang pro pada logika berpikiran bahwa iman adalah suatu hal yang abstrak dan tidak bisa dibuktikan sahnya secara sains. Sebaliknya bagi mereka yang memiliki iman pada suatu tuhan mengatakan me-"logika"-kan Tuhan adalah dosa besar. Pemimpin agamapun tidak dapat menerangkan ini dengan betul, mereka juga menganut hal yang sama dan mereka hanya pandai bersilat lidah berdasarkan kitabnya dan jika mengalami suatu perlawanan kita dianggap meragukan kedaulatan Tuhan, kita berdosa.

Sebelum gw membawa ini lebih jauh, gw memberi penyataan bahwa gw tidak membahas agama manapun. Gw menuntut para religius untuk cerdas dalam beragama. Mungkin lucu ketika gw menyatakan untuk cerdas beragama, tapi sadarilah kecerdasan kita beragama ini untuk memastikan cinta kita pada Tuhan bukanlah cinta monyet. Suatu bawaan karena terlahir sebagai agama tertentu sehingga kita mengatakan agama tersebut terbaik. Tidak cerdas.

Gw pun tidak ragu mempelajari agama lain -- bukan untuk mencari kelemahan agama tersebut tetapi mempelajari nilai - nilai positif yang terkandung di dalamnya dan ketika tiba pada batas dogma gw berhenti untuk lanjut mempelajari agama lain tersebut. Lanjut ke pembahasan, kebenaran tentang Tuhan. Itulah yang seharusnya dicari oleh manusia. Dengan otak jenius yang diberikan Tuhan kepada manusia, adalah sebuah mitos jika kita dilarang mempelajari logika Tuhan. Salah satu hal yang gw yakin, hukum - hukum fisika yang salah satu peneliti atheisnya yang terkenal, Stephen Hawking pun juga milik Tuhan jadi jangan salah kaprah. Hanya saja mereka memilih jalan jauh dalam mencari kebenaran Tuhan.

Sayangnya logika menjadi tabu dilekatkan pada iman adalah ulah manusia sendiri. Kita terlalu taat sehingga takut mencari kebenaran Tuhan, semua hukum dan rumus di dunia ini diciptakan oleh-Nya agar kita bisa mengerti supaya kita tahu kebesaran-Nya. Tuhan tidak bekerja dengan sekejab mata, mungkin kitab - kitab kalian mengatakan begitu tapi hukum - hukum dan rumus terjadi pada setiap karya Tuhan dalam logika waktu-Nya yang belum kita mengerti di era sekarang. Bagi gw ketika ada seseorang beragama mengatakan adalah dosa untuk me-"logika"-kan Tuhan, justru itu meragukan kehebatan Tuhan.

Tolong ingat semua detail di semesta ini Tuhan tahu dan Beliau lah yang membuatnya. Yah Einstein, Archimedes atau siapapun ilmuan terkenal tersebut, dengan istilah apa mereka dikenal? Penemu. Mbah Sudjiwo Tedjo bilang, "Aku haqul yakin bahwa E = MC2 udah gentayangan sejak pra purba di semesta, tapi hanya jiwa / pikiran Einstein yg sanggup menangkapnya". Yah merekalah yang berhasil mentranslasikan logika Tuhan dalam bahasa manusia, ngomong - ngomong bahkan E = MC2 yang terkenal itu baru ditemukan pada abad 20 dan otak orang yang mentranslasikan itu yang notabene tercerdas di dunia baru dipakai sekitar 10 - 15 persennya saja. Itu kenapa gw katakan logika kita masih jauh untuk mengenal Tuhan.

Tidak berarti tabu, logika lo harus berjalan dalam memikirkan keimanan lo. Dengan begitu lo akan mengerti cara menghormati agama lain, menghormati sesama manusia. Sebaliknya kalian para penganut sains. Ada begitu banyak keajaiban dan mukjizat yang terjadi di dunia ini yang mungkin kalian bisa jelaskan atau mungkin juga tidak bisa sekarang sehingga itu baru akan bisa dijelaskan oleh tiga, empat, sampai seribu lebih generasi ke depan. Itu semua tidak mungkin terjadi tanpa suatu sebab, hukum sebab akibat, semua ada dalangnya. Mungkin kalian berkata, semesta ini bisa tercipta tanpa campur tangan Tuhan -- yah begitulah yang dikatakan Stephen Hawking si maha profesor ilmu fisika kuantum tadi.

Menurut gw itu adalah sebuah gap, sadarilah apa yang kita buat sekarang bahkan sangat ingin meniru kehebatan Tuhan. Autoservice - autorun, sebuah aplikasi yang berjalan tanpa bantuan manusia dan untuk melayani manusia itu sendiri. Siapa yang mau dipersulit dengan instal ulang produk Appl*-nya? Gw bukan pemakai produk itu, tapi gw paham betul ada kemudahan instal ulang / update SO (baca: Sistem Operasi) yang berarti semua data harus diformat dan di-restore seperti semula sehingga dengan SO baru kita bisa menikmati layanannya dengan data - data yang sama. Untuk melayani manusia menuju peradaban yang lebih baik. Bukankah sebuah kepastian dengan klaim bahwa Tuhan Maha Kuasa sehingga Beliau bisa membuat suatu aplikasi yang sangat rumit yang bersifat autorun? Beliau sebagai The Only One Developer sudah mengompile keseluruhan semesta sehingga cukup satu klik, semesta berevolusi dengan sendirinya? Lucu. Lho kita saja bisa, kenapa Tuhan tidak? Itu kan hanya logika manusia untuk menjelaskan kekuatan Tuhan. Nyata cukup logis untuk diterima otak manusia yang kritis ini.

Intinya kedua hal ini harus berjalan bersamaan, tidak sedikit profesor - profesor sains yang taat beragama kok. Dengan catatan iman dinomor satukan dan logika kalian sebagai pembimbing yang kedua setelah Tuhan. Supaya iman kita tidak dirusak oleh dogma - dogma ajaran yang sesat, cinta lo pada Tuhan tidak disesatkan dengan kecemburuan iblis. Sehingga tercapainya iman kuat dan pasti, seperti ilmu sains -- ilmu pasti. Begitupun Tuhan, Beliau pasti dan nyata secara iman maupun logika. Seperti pastinya ilmu dan rumus yang diciptakan-Nya.